Fakultas Hukum Universitas Djuanda (FH UNIDA) berkolaborasi dengan Fakultas Hukum Universitas Borobudur (FH UNBO) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bagi Para Akademisi yang membahas tentang kematangan dan kesiapan Substansi RUU  tentang Kelautan sebagai Perubahan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Kegiatan ini dilaksanakan dengan tema, “ Pemikiran Kritis Akademisi Terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kelautan Mengenai Indonesia Sea and Coast Guard, pada Selasa, (25/06/2024) di Gedung D, Universitas Borobudur.

Dalam kesempatan ini, yang menjadi narasumber FGD terdiri dari Para Guru Besar dan Pakar sebagai Narasumber, seperti Guru Besar Hukum Pidana yang juga sebagai Wakil Rektor II Universitas Djuanda, Prof. Dr. Hj. Henny Nuraeny, SH., MH, Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH., MH, Guru Besar Hukum Maritim, Prof. Dr. Elfrida Ratnawati, SH., MH., M.Kn, dan Pakar Kelautan yang juga sebagai Wakil Rektor IV Universitas Djuanda, Dr. Yudi Wahyudin, S. Pi., M.Si. Kegiatan ini juga dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Borobudur, Prof. Dr. Ir. Hj. Darwati Susilastuti, MM, Dekan FH UNBO, Dr. Megawati Barthos, SH., MM, Dekan FH UNIDA Dr. Nurwati, SH., MH, Wakil Dekan Bidang Non Akademik FH UNIDA sekaligus sebagai Penanggap pada kegiatan FGD ini, Dr (Cand). R. Djuniarsono, SH., MH, Ketua Program Studi Hukum FH UNIDA yang juga sebagai Moderator pada kegiatan FGD ini, Dr. Rendi Aridhayandi, SH., MH, Sekretaris Program Studi Hukum FH UNIDA, R. Yuniar Anisa Ilyanawati, SH., MH, yang tentunya turut serta sebagai Penanggap pada FGD kali ini, serta para tamu undangan lain seperti, beberapa mahasiswa sebagai Perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH UNIDA, Perwakilan dari Kepolisian Air dan Undara (POLAIRUD), dan beberapa perwakilan dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).

Pada pelaksanaan FGD kali ini, Wakil Rektor II Universitas Djuanda menyampaikan arugmennya sebagai Narasumber, bahwa terdapat kontradiksi Penegakan Hukum terhadap RUU Kelautan dilihat dari perspektif Hukum Pidana.

“ RUU tersebut berlaku hukum tertulis, namun dalam hukum pidana masih rancu, khawatir ada benturan peraturan untuk menindak kasus pidana dalam kasus hukum laut. Dalam ruu kelautan , proses pembentukannya apakah tidak overlap antara Keputusan Presiden dan Undang-undang tentang kelautan? Sejatinya setiap peraturan memang untuk kesejahteraan masyarakat. Namun dalam RUU Kelautan, tidak spesifik mengenai penegakan hukumnya. Dalam hal ini terdapat disharmonisasi, terdapat ketidakjelasan makna pelanggarannya. Sehingga apakah boleh Undang-undang dikalahkan oleh Peraturan Presiden?” ungkapnya.

Disamping itu, pendapat menurut Guru Besar Hukum Tata Negara, menyampaikan bahwa penegakan hukum kelautan perlu diperhatikan kelembagaan dan tata kelola negara. Apabila masih ada kontra dalam pengaturan negara, maka sistem negara yang perlu ditinjau dan dibenahi. Berkaitan pertahanan dan keamanan negara, dalam negara terdapat 3 perspektif dalam pembentukan negara, diantaranya mengatur, melindungi, dan memenuhi.

“Badan Keamanan Laut (BAKMALA) bukan merupakan main organ, karena yang termasuk main organ hanya TNI atau Polri. Namun apabila konteksnya adalah bertugas, maka perlu lahir auxiliary organ atau unit kerja teknis. Sehingga, secara Single Agency Multi Task dapat dilaksanakan namun perlu penguatan dalam pembentukannya baik dalam hal tata pengelolaan negara dalam sistem hukum kelautan”, jelasnya.

 

Narasumber ke-3 dari Guru Besar Hukum Maritim juga memberikan argumennya, yang menyampaikan bahwa, di dalam pengaturan Hukum Kelautan, perlu diperhatikan dan jangan sampai terlupakan bahwa lebih banyak pengaturan hukum keperdataannya, tidak melulu tentang hukum Internasional. Dalam hal RUU ini, beliau berpendapat bahwa tentunya terlalu tergesa-gesa membuat perubahan RUU tentang Kelautan, dengan belum diketahui tujuannya, dan perlu difikirkan dari perspektif peraturan pidana, peraturan angkutan melalui kelautan, peraturan perlindungan nelayan dan peraturan lainnya.

Wakil Rektor IV Universitas Djuanda juga memaparkan pendapatnya sebagai narasumber ke-4, bahwa dengan menjaga kelautan di seluruh wilayah Indonesia, akan menjaga dan menambah jumlah devisa negara Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan perekonomian Indonesia.

Dalam pelaksanaan FGD ini, Dekan FH Unida memberikan kesan terhadap suksesnya acara akademisi ini. Menurutnya, memang Indonesia belum mempunyai Lembaga Hukum Laut yang solid, sehingga apabila pelanggaran terjadi, belum dapat dipastikan dapat ditangani secara tuntas. Sehingga dengan acara FGD ini, semoga menghasilkan manfaat untuk kemajuan Hukum Laut di Indonesia.

 “Saya berharap, pelaksanaan FGD ini, akan membuahkan hasil melalui Naskah Akademik yang nantinya dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk diterbitkan Undang-undang tentang Kelautan yang dapat ditaati Bersama, sehingga rakyat Indonesia dapat mencapai untuk kemakmuran rakyat”, ungkapnya.

Pada momen ini, nelayan pun turut memberikan antusias dan ucapan terimakasih karena telah diundang pada kegiatan ini, karena menjadi tambahan wawasan bagi para nelayan, dan ini menjadi hal pertama bagi para nelayan untuk menghadiri undangan FGD kali ini. Tanggapan dari para nelayan, tidak hanya ilegal fishing atau kejahatan laut lainnya, namun juga limbah industri menjadi persoalan dalam kasus di laut.

Kegiatan FGD ini dilanjutkan dengan  diskusi dari para Penanggap yang dipimpin oleh Moderator, yang kemudian diakhiri dengan penyerahan Piagam Penghargaan dan foto bersama. (prodi hukum)